This post is also available in: English
“Selamat datang di Rumah Boboca [Rumah Gurita] Gangga Satu,” kata Moses Corneles, Kepala Desa Gangga Satu (atau Hukum Tua), saat menyambut komunitas nelayan dari Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur, di desa pesisir kecilnya di Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia.
Kunjungan ini merupakan bagian dari Anjangsana Mitra, model tukar belajar yang difasilitasi oleh Yayasan Tananua Flores dan YAPEKA, dua organisasi mitra Blue Ventures di Indonesia. Acara yang berlangsung pada akhir tahun 2020 ini menjembatani organisasi-organisasi berbasis komunitas dan komunitas tempat mereka bekerja untuk saling belajar tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Nelayan gurita, pembeli, dan pengumpul data dari Ende mendapatkan pengalaman langsung dalam pengelolaan perikanan gurita di Gangga Satu dan desa tetangga, Bulutui, yang juga terletak di Minahasa Utara. Dengan mengikuti protokol kesehatan dan keselamatan yang ketat, para peserta memiliki kesempatan untuk berbagi dan belajar dari pengalaman rekan-rekan mereka. Peserta juga berkesempatan untuk bertemu dengan nelayan lain untuk membahas pendekatan konservasi laut yang dipimpin masyarakat yang relevan dengan konteks lokal mereka.
Belajar tentang Rumah Boboca
Setelah melalui proses selama tiga tahun dan dengan dukungan dari YAPEKA, akhirnya kami mendirikan Rumah Boboca ini melalui Peraturan Kepala Desa pada November 2020. Di sini, kami tidak bisa memancing gurita selama periode penutupan sementara untuk memberi kesempatan pada gurita tumbuh lebih besar,” kata Moses.
Rumah Boboca di Gangga Satu adalah area laut seluas 5,8 hektar yang terletak persis di depan desa. “Akses lokasi yang mudah memudahkan kami untuk memantau, guna meminimalisasi aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan, baik dari dalam desa maupun dari luar desa,” tambah Moses. “Kami menggunakan pemantauan kolaboratif untuk mengawasi kawasan tersebut dan memastikan tidak ada yang menangkap gurita di Rumah Boboca selama penutupan”.
“Masyarakat bersama pemerintah desa memasang pelampung dengan interval 100 meter di permukaan air untuk menandai kawasan Rumah Boboca. Nelayan bisa lewat dan menangkap ikan di sini, tapi tidak bisa menangkap gurita,” tambah Moses.
Melalui Peraturan Kepala Desa, masyarakat memutuskan untuk memberikan sanksi kepada setiap nelayan yang melanggar aturan. Hal ini dapat berupa peringatan lisan atau tertulis, penyitaan alat tangkap, bahkan melarang mereka untuk mengikuti hari pembukaan kembali Rumah Boboca.
Nelayan dari Ende juga berkesempatan mengunjungi kampung tetangga Gangga Satu, Bulutui. Sejak Januari 2020, masyarakat di sini telah mengelola perikanan gurita mereka melalui Rumah Boboca seluas 22,9 hektar yang terletak di lokasi pemancingan gurita yang terkenal bernama Napo Ila.
“Saya bangga dengan Rumah Boboca ini. Saya memiliki mimpi untuk mendirikan inisiatif serupa di kampung halaman saya, Batu Woka. Mayoritas penduduknya juga nelayan gurita,” kata Khadijah Buchari, Kepala Desa Sementara Bulutui.
Rumah Boboca merupakan salah satu cara agar masyarakat dapat meningkatkan nilai gurita yang ditangkapnya. Gurita di kawasan ini hanya bisa ditangkap tiga bulan sekali, dengan waktu penangkapan terbatas. Setelah itu, kawasan itu akan ditutup kembali untuk tiga bulan ke depan,” kata Efra Wantah, Koordinator Program YAPEKA.
Mendalami data dan peralatan yang digunakan
Salah satu proses penting yang dilakukan oleh masyarakat—di Ende dan di Minahasa Utara—adalah pemantauan perikanan gurita secara partisipatif. Data tangkapan gurita telah menjadi alat yang memberdayakan masyarakat dan memungkinkan mereka mengambil keputusan yang lebih tepat tentang cara mengelola perikanan gurita mereka.
Di Minahasa Utara, nelayan Bulutui dan Gangga Satu mulai memantau hasil tangkapan gurita mereka pada tahun 2018. YAPEKA membantu mereka membangun sistem pemantauan hasil tangkapan dan melatih pembeli gurita sebagai pengumpul data—mencatat hasil tangkapan, lokasi penangkapan, dan alat tangkap. Langkah tersebut diikuti oleh nelayan gurita dari Desa Mourongga dan masyarakat Arubara di Ende. Mereka mulai memantau hasil tangkapan gurita mereka dengan didukung oleh Yayasan Tananua Flores.
“Proses pendataan dimulai saat nelayan datang untuk menjual gurita mereka,” kata Lina, pembeli gurita yang kini menjadi pengumpul data dari Desa Gangga Satu. “Kami mengumpulkan data tentang gurita, seperti identitas nelayan, ukuran gurita, dan tempat gurita ditangkap. Di desa saya, pembeli gurita (atau kerabatnya) biasanya juga menjadi pengumpul data gurita. Kalau pembeli menjadi pengumpul data, pendataan jadi lebih efektif,” tutup Lina.
Setelah berdiskusi tentang proses pengukuran gurita, yang juga mencakup perubahan kondisi dan ukuran gurita yang diamati oleh nelayan saat pandemi COVID-19, banyak peserta yang terinspirasi dari upaya komunitas lain. Seorang pembeli gurita dari komunitas Arubara, Fudin Ali, tertarik secara khusus dengan metode pendataan yang dilakukan di Gangga Satu dan Bulutui:
Masyarakat Gangga Satu dan Bulutui sama seperti kami. Kita semua punya dua tangan. Jadi, kalau mereka bisa mengelola perikanan gurita, kita juga bisa,” ujarnya.
Selama Anjangsana Mitra, para nelayan gurita juga belajar tentang berbagai jenis alat tangkap (peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan). Dance Amenda, seorang nelayan dari Desa Gangga Satu, menggunakan ketang, umpan mirip kepiting yang dapat digunakan tanpa perlu menyelam untuk menangkap gurita. Sementara itu, Muhamad Isnaini, nelayan gurita dari masyarakat Arubara, menjelaskan bahwa di desanya mereka menyelam untuk menangkap gurita menggunakan tongkat besi dengan kail.
“Saya belajar banyak hal baru tentang perikanan gurita dari masyarakat dan nelayan di sini. Saya berharap ide serupa bisa diterapkan di Ende untuk mengelola perikanan,” kata Isnaini kepada wartawan Mongabay Indonesia yang juga mengikuti kegiatan Anjangsana Mitra.
Berbagi inspirasi
Banyak cerita dan pelajaran yang dibagikan selama tiga hari Anjangsana Mitra di Minahasa Utara. Masyarakat dan kedua organisasi fasilitator memiliki latar belakang yang berbeda dengan konteks dan budaya yang unik. Oleh karena itu, masing-masing menawarkan perspektif dan pengalaman pengelolaan perikanan yang saling memperkaya pengetahuan satu sama lain. Terlepas dari perbedaan mereka, semua kelompok ini bekerja untuk tujuan yang sama: mempromosikan pengelolaan perikanan berkelanjutan di lingkungan laut Indonesia yang beraneka ragam.
Fudin Ali, pembeli gurita yang sangat tertarik dengan pendataan, berbagi pendapatnya:
“Ini bukan tentang berapa banyak uang yang kita miliki, ini tentang kemauan kita. Saya tidak pernah menyangka akan mengunjungi komunitas-komunitas ini dan belajar tentang Rumah Boboca. Tapi sekarang saya sudah melihatnya sendiri. Saya pikir kita juga harus memiliki pengelolaan perikanan gurita yang serupa di desa kita. Jika kita melakukannya bersama-sama, kita bisa mewujudkannya.”
Pelajari lebih lanjut tentang Rumah Boboca di Bulutui
Berkenalan dengan Metty Wasa, Office Manager di Yayasan Tananua Flores yang menginspirasi
Berkenalan dengan Ami Raini Putriraya, Site Manager untuk Minahasa Utara di YAPEKA